Media sosial dapat memiliki dua fungsi, menjadi sumber kebaikan atau dapat juga menjadi sumber kejahatan dan malapetaka. Betapa mudahnya orang menyebarkan informasi saat ini, dan jika kita perhatikan, hampir setiap fenomena di masyarakat yang berbau agama, dikaitkan dengan satu hadis. Sehingga setiap ada even, terbit hadis baru. Contoh di antara hadis yang pernah mampir dalam broadcast di WA group penulis, kurang lebih seperti berikut:
Rasullullah Saw bersabda: “Barang siapa yang memberitahukan berita satu Safar kepada yang lain, maka haram api neraka baginya”.
Rasullullah Saw bersabda: “Barang siapa yang memberitahukan berita Arafah kepada yang lain, maka haram api neraka baginya”.
Rasullullah Saw Bersabda: “Barang siapa yang memberitahukan berita satu Dzulhijjah kepada yang lain, maka haram api neraka baginya”.
Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang memberitahukan berita Sya’ban kepada yang lain, maka haram api neraka baginya.”
Rasullullah Saw bersabda: “Barang siapa yang memberitahukan berita satu Rajab kepada yang lain, maka haram api neraka baginya”.
Bila kita perhatikan secara seksama nampaknya orang yang membuat broadcast hadis ini menggunakan metode copas karena redaksinya hampir sama. Hal ini bukan sesuatu yang baru dan mengherankan, seperti yang diriwayatkan oleh al-Uqaily dari Hammad bin Zaid, bahwa orang-orang zindiq (munafiq) pernah membuat hadis palsu sebanyak 14.000 hadis, bahkan ada tiga orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis pernah membuat hadis palsu lebih dari 4000 hadis (Tadrib Rawi, as-Suyuthi, 1/335)
Sebelum menshare atau meneruskan broadcast hadis seharusnya kita cermati bahaya dusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat di Neraka.” (Muttafaq ‘alaih).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan:
“Para ulama sepakat bahwa sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar, bahkan Abu Muhammad al-Juwaini sangat keras sehingga mengkafirkan orang yang sengaja dusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan mereka bersepakat haramnya meriwayatkan hadis maudhu‘ (palsu) kecuali disertai keterangannya (yang menjelaskan kepalsuannya), berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يَرَيْ أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Barang siapa menceritakan dariku suatu hadis yang dia ketahui kedustaannya, maka dia termasuk di antara dua pendusta.” (HR. Muslim dalam al-Muqadimah, Ibnu Majah 41, dan yang lainnya).
Jika mendapatkan broadcast hadis yang tidak jelas penulisnya juga bukan orang yang terkenal hati-hati dalam meriwayatkan hadis, sebaiknya tidak menyebarkannya, meskipun dalam tulisan itu tersebut terdapat kebaikan dan janji pahala besar bagi orang yang menyebarkannya.
Sederhananya seperti ungkapan 'annadzhafatu minal iman' secara substansi bagus karena mengandung kebaikan, saat dikerjakan dengan ikhlas akan mendapatkan pahala karena sudah menjaga kebersihan, namun jangan lantas kita sandarkan bahwa ungkapan ini adalah hadis Nabi.
Lebih baik diam tidak menyebarkannya, dari pada salah dalam menyebarkan. Atau kalaupun memang ingin berbagi kebaikan di setiap peristiwa, belajarlah mengutip dengan hadis yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يَرَيْ أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Barang siapa menceritakan dariku suatu hadis yang dia ketahui kedustaannya, maka dia termasuk di antara dua pendusta.” (HR. Muslim dalam al-Muqadimah, Ibnu Majah 41, dan yang lainnya).
Imam an-Nawawi menjelaskan hadis ini:
يحرم رواية الحديث الموضوع على من عرف كونه موضوعا أو غلب على ظنه وضعه فمن روى حديثا علم أو ظن وضعه ولم يبين حال روايته وضعه فهو داخل في هذا الوعيد
“Haram hukumnya meriwayatkan hadis maudhu‘ bagi orang yang mengetahui atau menurut dugaan kuatnya bahwa derajat hadis tersebut adalah maudhu‘. Sebab itu, barang siapa meriwayatkan suatu hadis yang dia yakin atau ada sangkaan kuat bahwa derajatnya adalah maudhu’ (palsu), namun dia tidak menjelaskan derajatnya, maka dia termasuk dalam ancaman hadis ini.” (Syarah Shahih Muslim, 1/71)
Mari menggunakan dan memanfaatkan media sosial dengan baik dan smart, mungkin karena inilah dinamakan smartphone. Semoga Allah menyelamatkan kita dan generasi kita dari kesalahan ketika bermedia sosial.
Wallahu a'lam.
Sahabat karib Anda:
Herwan